Langsung ke konten utama

Tiket Gila Konser Kuasa (2)

(A) : Apa benar Anda gila?

(B) : Iya Pak

(A) : Sudah berapa lama gila?

(B) : Baru seminggu Pak

(A) : Seminggu? Berarti kamu masih yunior

(B) : Masak sih Pak? Bapak juga gila?

(A) : Hmmm....

(B) : Bapak hebat eeeuuyyy...

(A) : Oke, ga usah dibahas soal itu. Sekarang....Anda diperintah oleh siapa?

(B) : Yahhh...Bapak kan lebih senior? Bapak tahu dong ! Bapak gila ihhhh....

Anda pasti mengira kalau saya sedang membuat lelucon fiktif. Mengapa? Karena dialog di atas – meminjam istilah Tarzan Srimulat – adalah sesuatu hil yang mustahal. Kok bisa? Ya jelaslah, mana mungkin orang gila mengakui bahwa dirinya gila. Apalagi jawaban yang diberikan masih relevan dengan pertanyaan yang diajukan. Yang paling bisa diterima akal sehat, bahwa dialog di atas sebenarnya adalah dialog antara 2 orang waras yang sedang berpura-pura gila. Begitu kan?

Jika Anda menyimpulkan seperti itu, berarti Anda memang benar-benar kurang piknik. Kasihan. Saya terharu. Nalarmu terpasung, pengetahuanmu teramputasi, sukmamu mengerdil, jiwamu mengering, cintamu terpenjara. Halah....opo ae se iki? Kok jadi menggeladrah ke mana-mana. Hahaha...

Celah Gila

Anda waras? Ya...pastilah. Belum tentu Mas Bro! Coba teliti lagi...jangan buru-burulah. Mau tahu kenapa? Berdasarkan data Kemenkes tahun 2016 yang dilaporkan ke WHO, terdapat sedikitnya 35 juta orang Indonesia mengalami depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang mengalami skizofrenia, dan 47,5 juta terkena dimensia. Tuh..kan? Anda termasuk yang mana nih? Hahaha....silakan dipilih sesuai minat dan bakat masing-masing.

Tahukah Anda, bahwa sepanjang tahun 2016, lebih dari 100 ribu warga Jakarta pernah mencoba bunuh diri? Seperti diungkapkan seorang psikiater senior T. Wirasto dalam makalah ilmiahnya berjudul Sucide Prevention : Providing Public Advocacy. And so? Dialog imajiner di atas sebenarnya bukan hal yang tidak mungkin dilakukan oleh OG. Sebab ternyata dalam kajian majnunologi (ilmu tentang gila), ada sekitar 20 jenis gangguan jiwa. Seseorang yang mengalami delusi misalnya, dia bisa diajak ngobrol. Tapi, dia juga bisa mendadak emosi dan bahkan tak terkendali. Delusi itu meyakini sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan. Nah, kan?

Jadi, definisi “gila” menurut orang awam itu ternyata tidak sama dengan para ahli kejiwaan. Seseorang yang menurut awam dianggap normal, bisa saja di mata para ahli dianggap sedang mengalami gangguan jiwa. Kesimpulannya, Anda perlu segera memastikan diri kepada ahli jiwa untuk mendapatkan sertifikat bebas gila. Bagi yang sudah mengantongi, bukan berarti aman selamanya. Karena harus dikalibrasi secara berkala. Hahaha...

Belakangan, banyak beredar kabar terkait teror kepada sejumlah pemuka agama. Anehnya, pelaku diduga (atau diopinikan?) sebagai OG. Baik yang sudah tertangkap, maupun yang berhasil lolos. Publik pun bertanya-tanya, apa iya sih? Masak OG bisa memilih target? Karena hampir semua korbannya adalah para pemuka agama. Masak sih OG bisa menyelamatkan diri ketika merasa terancam? Masak sih OG bisa menciptakan tren? Ah sudahlah...saya bukan Kak Seto (pakar psikologi Dr Seto Mulyadi S.Psi., M.Si, red) yang bisa menguji kewarasan seseorang. Simpan pertanyaan-pertanyaan itu, kita ikuti saja episode demi episode sembari menikmati kopi.

Ketika polisi menduga bahwa para pelaku teror itu adalah OG, bisa jadi itu benar. Kok bisa begitu? Karena standar yang dipakai adalah standar akademis. Bukan standar awam. Standar akademis itu parameternya lebih banyak. Di sinilah permainan babak kedua dimulai. Sebab ini berkaitan dengan konsekuensi hukum yang memang selalu bersifat tarik ulur.

Pada saat hakim memutuskan bahwa pelaku dinyatakan positif mengalami gangguan jiwa, berarti pelaku lolos dari jeratan hukum. Hakim, misalnya, bisa juga memutuskan pelaku dimasukkan RSJ. Ini lebih ciamik lagi. Karena selain bebas secara de jure, pelaku juga bisa bebas secara de facto. Sebab, mengeluarkan seseorang dari RSJ bukan hal yang susah. Jika ini terjadi, maka pelaku bisa lolos, baik secara hukum maupun secara de facto. Selain membebaskan pelaku, hakim juga memutus mata rantai jaringan antara pelaku dengan aktor intelektualnya. Luar biasa kan? Sekali mendayung, dua gadis terpedaya.

Itu pun kalau kasusnya sampai ke tingkat pengadilan. Kalau tidak? Ini lebih gila lagi. Dengan dalih apa saja yang bisa direkayasa, kasus itu sangat berpotensi terhenti hanya sampai di tingkat kepolisian. Apalagi, bangsa ini sangat terkenal memiliki budi pekerti yang luhur, yakni pemaaf. Publik lebih menyukai hal-hal baru ketimbang mengawal sebuah kasus hukum agar bisa sampai ke tingkat pembuktian di meja hijau. Termasuk keluarga korban sekalipun. Apalagi jika dari awal opininya sudah digiring untuk mengamini bahwa pelaku adalah OG...ya amsiong Bro!

Bersambung...



@guslege

Penikmat warung kopi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebelet Ngislam

Kebelet pipis…? Kebelet be’ol…? Kebelet kawin…? Kebelet kaya…? Anda yang bukan orang Jawa mungkin akan bertanya2, apakah kebelet itu? Orang Arab bilang, maa hiya kebelet ? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebelet diartikan sebagai : ingin sekali, tidak tertahankan lagi untuk melaksanakan keinginan. Apakah definisi KBBI itu sudah mewakili pengertian kebelet sesuai yang dimaksud oleh penemu kata kebelet ? Entahlah. Tapi setidaknya sudah cukup memberikan gambaran tentang arti kata kebelet . yakni adanya sebuah dorongan dari dalam untuk bersegera melakukan sesuatu.