Langsung ke konten utama

Selfie Itu Psikopat

selfie

Inilah zaman now. Saya bersyukur bisa ikut mencicipi pernik-perniknya. Ada yang hobi kongkow di Starbak. Begitu pesanan Caramel Macchiato-nya keluar, langsung ambil hape. Ceklik! Dalam hitungan detik, foto selfie sudah langsung menyebar di medsos. Ditambahi sedikit caption “sedang menunggu klien” sebagai bumbu penyedap postingan. Rasanya wow gitu lho. Cita rasa eksekutif muda yang sedang menapaki jalan kesuksesan. Asyik banget.



Lain lagi cerita parasetanmol. Aliran ini cabang dari madzhab sosialita. Suluknya adalah memperbanyak i’tikaf di mall. Jamaahnya mayoritas para macan (mama cantik, red). Macan-macan ini ridla lho menghabiskan waktu berjam-jam untuk thawaf keliling SOGO, atau keluar masuk boutique. Dan...ceklik! Sebuah pants bermerek Bossini dengan bandrol Rp 649 ribu terjepret kamera handphone. Ada yang memilih lingerie La Senza yang harganya bisa ratusan ribu. Padahal itu hanya kutang. Iya, kutang untuk menutup payudara. Mending kalau plafon untuk menutup atap rumah.

Etapi...narsis yang syar’i ada nggak ya? Banyak. Tengok saja perilaku genit para dluyufullah (tamu Allah, red). Berselfie dengan latar belakang ka’bah sambil mengenakan pakaian ihram. Untuk mengelabui kesan riya’, itu mah tergantung captionnya. Pilih saja kata yang tidak mengandung unsur pamer. Misalnya, “Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah”. Makam aulia, masjid, majelis ta’lim, kitab, adalah tema favorit yang biasa dipilih para pegiat narsis syar’i.

Di zaman now, narsis itu penting. Bahkan mungkin lebih pentng dari kebutuhan pokok. Generasi zaman now itu rela lho makan dengan menu minimalis. Yang penting pos anggaran untuk beli paket data tidak boleh zonk. Kalau dulu, slogannya adalah mangan ora mangan sing penting ngumpul. Semangatnya komunis banget. Slogan itu sekarang sudah direvisi. Mangan ora mangan sing penting nyetatus.

Beruntung, ada seorang ustadz yang ngingetin kita semua. Di situs pribadinya, Ustadz Felix Siauw menulis, “Selfie itu kebanyakan berujung pada takabur, riya’, sedikitnya ujub”. Waduh..gawat nih! Saya bisa jadi salah satu tersangka. Meskipun sebenarnya saya juga agak alergi dengan selfie. Tapi sesekali ya pernahlah. Ya Allah...tolong kasih diskon atas dosa selfie saya! Please...Ya Allah!

Apalagi, ustadz yang lagi booming ini juga menyelipkan hasil kajian ilmiah. Selfi ditinjau dari ilmu kejiwaan dan psikologi. Bahwa menurut penelitian Gwendolyn Seidman (asosiasi profesor di Albright College), perilaku selfie, narsis, takjub pada sendiri, itu berkaitan dengan gejala psikopat. Wuiks!

Adalagi pendapat Director Media Psychology Research Centre Dr Pamela Rutledge (kirain Pamela Anderson...qiqi). Katanya, “Berkaca dan memotret diri sendiri atau selfie adalah 2 hal yang berbeda. Dengan mematut diri di depan kaca menimbulkan pergerakan yang nyata. Sedangkan selfie lebih kepada imaji yang Anda ciptakan sendiri demi mendapatkan perhatian dari orang lain. Hal yang demikian menunjukkan seseorang yang kesepian, butuh pengakuan, selalu ingin menjadi pusat perhatian dan biasanya tidak terlalu pintar”.

Alamaaakkk...ternyata sebegitu bahayanya ya?

MunafikThe New World

Kalau Anda bertanya tentang “Apakah dunia itu” kepada Generasi Baby Boomers atau Gen X, jawabannya bisa ditebak. Dunia itu ya ini. Rumah, sawah, kebun, gunung, laut, alon-alon, gedung, warung kopi, tahu gejrot, gethuk lindri, sepeda onthel, Lamborghini, meja makan, kamar tidur, termasuk WC. Pokoknya segala sesuatu yang bisa ditangkap panca indera, itulah dunia. Tapi bagi Gen Y, "dunia" punya definisi yang berbeda.

Seiring teknologi yang berkembang pesat. peralatan teknologi juga semakin canggih. Satu mahakarya teknologi yang sangat fenomenal adalah lahirnya “the new world” alias Dunia Internet. Dan itulah "dunia"nya Gen Y. Entah disadari atau tidak, Gen Y atau yang biasa disebut Generasi Milenial sudah menjadi makhluk ampibi yang hidup di 2 alam. Generasi milenial mengalami fase transisi dari dunia nyata menuju dunia maya. Celakanya, sebagian Generasi Baby Boomers juga ikut-ikutan migrasi ke dunia maya.

Dalam dunia baru ini, manusia bisa menciptakan dirinya sendiri sesuai yang diimpikan. Ada yang memilih jadi orang arif seperti Biksu Tong Sam Cong. Kerjaanya setiap hari memproduksi kata-kata filosofis. “Kosong adalah isi. Isi adalah kosong”, itu contohnya. Kalau perlu copas dari sana sini. Yang penting bisa melengkapi citra diri sebagai sosok yang arif dan bijaksana. Ada yang ingin membentuk dirinya sebagai seorang politikus-kritikus-kementhus. Karakternya, selalu mencari sisik melik negatif atas sesuatu. Semuanya serba salah. Bahkan kalau perlu, Tuhan pun dipersalahkan dengan argumentasi yang sedikit mekso. Satu-satunya yang tidak pernah salah hanyalah mantan pacar pertama yang pengen kembali meski sudah menikah.

Ada juga yang terobsesi menjadi seperti Leonardo Di Caprio saat memerankan Jack Dawson dalam film Titanic. Atau menjadi sosok Dilan. Sok romantis. Tiap menit nulis puisi. Sehari tanpa nulis puisi, tubuhnya bisa kejang-kejang. Meski terkadang sekedar mencomot puisinya Rumi. Sekali waktu ngeshare foto selfie berlatar belakang bunga kamboja (Haaa...sejak kapan kamboja jadi simbol romantisme? Qiqiqi...).

Singkat kata, di dunia baru ini setiap orang bisa melukiskan gambar dirinya sesuai yang diinginkan. Dan selfie, sebenarnya hanyalah salah satu cara pencitraan diri. Anehnya, semua penduduk dunia maya ingin terlihat baik. Hampir tidak ada yang mencitrakan dirinya sebagai Sengkuni seperti dalam epos Mahabarata atau seperti Gollum dalam serial The Lord of The Rings. Bahkan, dorongan ingin terlihat baik itu terkadang sampai offside. Memantaskan diri menjadi seorang tokoh agama lengkap dengan segala atribut keulamaan. Mulai baju koko, peci, sorban sampai aksen kearab-araban yang kadang malah terdengar seperti orang yang sedang berkumur.

It’s oke. Ga masalah. Itu adalah pilihan masing-masing. Tapi ingat, pengaruh medsos itu sedemikian kuatnya sampai-sampai mampu menghipnotis seseorang. Di sinilah masalahnya. Bahwa dunia maya sekarang diimani sebagai “realitas” sehingga seseorang abai terhadap kehidupan nyata. Mereka memburu kesempurnaan dalam dunia maya. Meski dalam dunia nyata, dirinya bukanlah siapa-siapa. Asal sudah nyetatus, maka dianggap gugur semua kewajiban individu dan kewajiban sosial. Banyak lho orang yang hebat di dunia maya, tapi dalam dunia nyata hanyalah kepompong rapuh. Dan, jutaan manusia terjebak dalam cara pandang yang seperti ini. Makanya saya khawatir. Jangan-jangan apa yang selama ini diyakini sebagai surga, ternyata hanyalah screensaver. Inilah jebakan Batman zaman now. Waspadalah...waspadalah!

Mengapa mereka lebih memilih hidup di dunia baru? Karena tantangan di dunia maya hanya ada satu. Duit untuk beli paket data. Sebab, peket data bagi mereka adalah dzikir yang tidak boleh putus. Kalau ada yang tidak suka, tinggal di unfriend atau di unfollow. Selesai. Atau kalau mau memuaskan diri, keluarkan saja mantranya salah seorang tokoh medsos. Apa itu? “Jancuk, matamu picek ya!”

Bandingkan dengan dunia nyata yang penuh dengan tantangan. Selalu saja ada orang-orang yang menyebalkan, dan di beberapa kesempatan kita tak kuasa melawan. Satu-satunya jalan hanyalah memperbesar kesabaran sehingga bisa berdamai. Di situlah proses pendewasaan hidup. Maka membandingkan tokoh dunia maya dengan tokoh dunia nyata sama halnya membandingkan Sopo Jarwo dengan Salman Khan.

Sampai di sini, sebenarnya penilaian Ustadz Felix tentang “pelarangan” selfie memang ada benarnya. Kata Ustadz Felix, bahwa selfie itu kebanyakan berujung pada takabur, riya’, sedikitnya ujub. Dan jika itu sampai terjadi, bisa mematikan hati, membakar habis amal dan membuatnya layu bahkan sebelum ia mekar. Walaupun tidak selalu. Sebab semua tergantung niatnya. Beliau sifatnya hanya mengingatkan. Karena itu tak perlu dipersoalkan jika Anda menemukan ada banyak foto pribadi di akun IG-nya Ustadz Felix. Kata Ustadz, itu bukan selfie. Tapi difotokan orang. Dan saya yakin, foto dan rekaman video yang diupload di akun pribadi itu semua niatnya untuk berdakwah. Bukan begitu Ustadz?

Wallaahu a’lam...

lege

(penikmat warung kopi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebelet Ngislam

Kebelet pipis…? Kebelet be’ol…? Kebelet kawin…? Kebelet kaya…? Anda yang bukan orang Jawa mungkin akan bertanya2, apakah kebelet itu? Orang Arab bilang, maa hiya kebelet ? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebelet diartikan sebagai : ingin sekali, tidak tertahankan lagi untuk melaksanakan keinginan. Apakah definisi KBBI itu sudah mewakili pengertian kebelet sesuai yang dimaksud oleh penemu kata kebelet ? Entahlah. Tapi setidaknya sudah cukup memberikan gambaran tentang arti kata kebelet . yakni adanya sebuah dorongan dari dalam untuk bersegera melakukan sesuatu.